Google info dan internet online

Thursday, August 16, 2012

HAK ASUH ANAK postheadericon

Posted by Unknown | Pada 4:30 PM

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang harus dilakukan seorang suami untuk mengambil hak asuh anak jika sudah bercerai dari isterinya? Apakah betul dia tidak berhak memboyong mereka sampai istrinya menikah lagi? Apakah perlu masalah hak asuh diangkat ke pengadilan ?

Jawaban
Pengaduan masalah ini ke pengadilan tidak harus anda lakukan. Jika anda rela anak-anak tetap tinggal bersama ibu mereka, maka tidak masalah. Yang penting anda wajib memperhatikan apa yang terbaik bagi anak-anak. Jika anak-anak lebih baik berada dalam asuhan ibu mereka, maka sebaiknya mereka dibiarkan bersama ibunya, dan anda tidak boleh menghalangi.

Namun jika keadaan mereka akan lebih baik bersama anda, maka anda boleh mengambilnya setelah umur 7 tahun menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka tinggal bersama ibu kandungnya hingga semua anak-anak genap berusia 7 tahun. Setelah mencapai tujuh tahun, anak lelaki diberi dua pilihan antara tinggal bersama ibu atau ayahnya, sementara anak perempuan diasuh ayahnya sampai masuk pelaminan. Ini pendapat paling masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, meskipun dalam masalah ini ada banyak perbedaan di kalangan ulama.

Siapapun orangnya, jika anak-anak tinggal bersama ibunya, maka ia (ibu) tidak boleh menghalangi ayah mereka untuk mengunjungi anak-anak. Begitu juga jika anak-anak tinggal bersama ayah, maka ia tidak boleh menghalangi sang ibu untuk mengunjungi mereka. Seorang mukmin harus takut kepada Allah dan memahami bagaimana besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya baik dalam kalbu ibu atau ayah.

Tetapi bila sang ibu telah menikah dengan orang yang bukan kerabat anak-anak, maka sang ayah boleh memboyong mereka menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad.

Masalah-masalah seperti ini (hak asuh anak) perlu merujuk kepada putusan hakim, karena tidak diragukan lagi bahwa mereka (para hakim) akan meneliti dan mengkaji apa yang paling baik bagi anak, karena tujuan utamanya adalah melakukan yang terbaik bagi anak. Hanya Allah yang memberi petunjuk.

[Syaikh Ibnu Utsaimin Fatawa Manaril Islam 3/622]

PENCANDU NARKOBA MEMBERI NAFKAH KEPADA ANAK DAN ISTRI

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya wanita menggugat cerai dari suaminya yang pecandu narkoba ? Bagaimana hukumnya tinggal bersamanya? Sementara tidak ada seorangpun yang menafkahinya dan anak-anaknya selain suami yang pecandu tersebut?

Jawaban
Gugatan cerai wanita tersebut dari suaminya yang pecandu narkoba boleh, karena kondisi suaminya tidak diridhai oleh agama. Jika perceraian terjadi maka anak-anak berada di bawah asuhan ibunya selama belum mencapai usia tujuh tahun, sementara ayah mereka tetap diwajibkan menafkahi mereka. Tapi jika memungkinkan bagi istri untuk tetap tinggal bersamanya agar bisa memperbaiki suaminya dengan nasihat, maka itu lebih baik.

[Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 2/803]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

1 comments:

Unknown said...

Saya mau bertanya ustadz

Beberapa tahun lalu saya sudah memiliki istri kemudian menikah lagi dan menjalani poligami. Untuk istri kedua saya menikah Di KUA namun tidak mendapatkan buku nikah karena keterbatasan biaya saat itu untuk menebus buku nikah. Dalam perkawinan dengan istri kedua kami mendapatkan seorang anak perempuan. Saat ini anak itu berumur 6 tahun.

5 tahun setelah perkawinan istri kedua terus menggugat cerai dan akhirnya bercerai dihadapan keluarga tidak di pengadilan dengan perjanjian hak asuh berada pada saya sebagai ayahnya. Hal ini karena pertimbangan sang ibu bekerja di luar kota (daerah pelosok)yang menempuh jarak hingga 6 jam dengan kendaraan umum. dan menetap disana.

Dua tahun setelah perceraian dan anak dalam asuhan saya, sang ibu bebas menjenguk anaknya kapan saja, sesekali berjalan-jalan, dan terkadang menginap dirumah saya atas persetujuan istri pertama saya. Dalam perjalanan waktu sang istri terus menuntut saya untuk membawa anak saya menginap di tempat saudara dan keluarganya. Karena melihat pengalaman masa lalu yang dilakukan ibu anak ini yang selalu minggat dari rumah karena hal-hal sepele saat menjadi istri saya dan bersembunyi sehingga saya sulit sekali menemui dirinya dan anak saya, (dan pernah hingga 4 bulan disembunyikan). Berdasarkan pengalaman ini saya belum mengizinkan dia sebagai ibunya untuk membawa sang anak bermalam di rumah kerabatnya. Namun tetap mengizinkan untuk menjenguk anaknya kapan saja.

Suatu hari sang ibu nekat menculik anak saya dan menyembunyikan lagi seperti prilaku yang dilakukan pada masa dulu. Dan berkeras mengatakan melalui SMS bahwa dia lebih berhak penuh terhadap hak asuh anak itu.

Pertanyaan Saya :

Bagaimana menurut kacamata islam dan hukum indonesia mengenai hak asuh anak berdasarkan kejadian ini.

Mohon jawaban sedetilnya pak ustadz

Terima kasih

Post a Comment